Kau berdiri membelakangi menara Katedral Freiburg yang megah, membuang angan jauh ke teduh bangku-bangku kosong di pelataran Groβen Stern. Sebatang rokok kretek masih setia menyelinap diantara jemarimu, menunggu tempat yang tepat untuk dinikmati. Ini tengah kota, tak ada tempat bagimu berdua bersamanya. Nyaris di segala penjuru tertempel larangan Rauchen verboten! Orang-orang negeri ini (masih) sangat mencintai bahasa ibu kandungnya.
Tidak seperti negeri di seberang lautan Hindia yang membentang angkuh. Semua serba inggrisisasi atau apapun itu namanya. Hampir semua kata. Bahkan Sabtu kemarin sempat kau dengar obrolan alay anak-anak muda negeri itu dari tayangan streaming internet. Chiby...Chiby...dan bla bla bla. Ini lebih parah dari inggrisisasi, bahkan lebih kolot lagi. Di saat negeri lain mengalami kemajuan, negeri tersebut juga tidak mau kalah ikut mengalami kemajuan; ya kemajuan dalam bidang kemunduran. Tragis memang.
Sejenak kau memandang langit biru. Ini (memang) musim panas bukan? Matahari sedang geram menggantung angkuh di atas menara Katedral. Pikiranmu melayang, membayangkan bagaimana menghabiskan sebatang rokok di pelataran Groβen Stern. Pasti nikmat. Itu yang selalu kau bilang sebagai klimaks penutup khayalan pendekmu, diikuti sedikit senyum manis. Gigi-gigi kuning akibat asap rokok menyembul bangga. Aku perokok hebat lho! tutur bibirmu sok pamer.
Kau membuang pandangan ke belakang. Katedral Freiburg masih berdiri gagah memperhatikan tingkah gilamu. Tempat ini lebih indah dari Platz der Akademie, tetapi tidak akan mampu menandingi kecantikan Groβen Stern dan Tiergarten yang masih perawan. Sekali lagi pikiranmu melayang cepat, membayangkan petang di sana, menghabiskan sekotak rokok kretek sembari melukis keperawanan Groβen Stern dari samping bangku coklat tua itu. Ya sekotak rokok, bukan lagi sebatang. Pikiranmu kini lebih egois. Sungguh nikmat memang. Tak ada kenikmatan yang sebanding kemolekan Groβen Stern.
Matahari belum juga pergi. Masih bertengger malu di atas menara katedral. Perlahan kau tinggali kesepian yang masih menghijau itu. Samar-samar, bayangan kakimu berlalu pergi, terbenam di sudut tikungan toko roti Bäckerei Zimmermann. Aroma roti mengiringi langkahmu, semakin cepat sebelum akhirnya kau berhenti pada sebuah simpangan. Selembar kertas keluar dari tas coklat kusam milikmu.
Groβen Stern masih jauh di ujung kaki. Hanya angan yang sudah menyetubuhi kemolekannya. Mata yang meraba keindahan rupa matinya. Tangan yang mengusap pundaknya di sempat malam. Juga telinga yang (masih) setia merekam pesonanya dari mereka yang pernah menidurinya. Kota itu benar-benar bergairah.
Sesaat kau berhenti, memandangi kertas kusam itu lagi.
“Hannover-Messe, aku datang. Semoga di sana, bisa kutemukan orang tua dari anak-anak alay yang sedang menjual negerinya di pinggiran lautan lepas. Mungkin di sana juga, aku bisa pulang” gumammu seribu harapan. Lalu Groβen Stern? Bagaimana dengan kemolekan kota itu? Sudahlah, biarkan Groβen Stern tetap jadi gadis penjaga tidurmu. Mungkin dengan begitu, Groβen Stern akan lebih cantik dalam sketsa hitam putihmu yang telanjang, bukan seperti di sana; Groβen Stern tinggal cerita dan bangku-bangku hijau di musim salju.
********
Semarang, 16 Agustus 2012
Untuk Groβen Stern dan petang sehabis itu...
*Pernah ditulis di blog lama saya Rumah Hijau namun sudah dihapus.